Jika pengetahuan dimaknai sebagai kumpulan fakta-fakta yang saling berhubungan satu sama lain mengenai sesuatu hal tertentu, maka apa yang kuuraikan pada tulisan ini bukanlah sebuah pengetahuan sejarah. Melainkan sebuah opini atau pendapat yang justru disebabkan oleh kurangnya nilai pengetahuan didalamnya, sehingga saya amat yakin akan kebenarannya. Itulah sebabnya, kajian ini saya tempatkan pada laman “Kajian Ininnawa”. Ya, cuma sebuah pendapat dari lembaga pengetahuanku yang dangkal semata...
Cetusan Rasa Gundah
Awal bulan Juli yang lalu, kuinjakkan kaki kembali di Situs Pendopo Agung, Trowulan – Mojokerto, Jawa Timur. Tidak banyak perubahan yang kulihat sejak mengunjungi pertamakalinya pada bulan Juni tahun 1993, kecuali jalan setapak dibelakang pendopo itu yang membawa kita ke komplek Makam Kuno yang disebut sebagai Kubur Panggung. Tidak jauh dari dari tempat itu pula, berdiri sebuah bangunan kecil yang dikatakan sebagai komplek pertapaan Prabu Hayam Wuruk. Pada tempat itu pulalah, seorang lelaki bercerita dan berkisah terus menerus dengan lagak seorang Bhagawan. Tiada lain yang dikisahkannya, adalah : Kebesaran Kerajaan Majapahit dengan Maha Patihnya yang mempersatukan Nusantara dalam sebuah imperium, yakni : Majapahit.
Seketika itu saya teringat dengan pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sejak SD, SMP dan SMA (resminya saat ini, Pendidikan Terakhirku adalah SMA, harap maklum). Ketika pokok bahasan sampai pada “Wawasan Nusantara” atau “Wujud Persatuan Indonesia”, maka pastilah “Sejarah Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sriwijaya” dijadikan acuan. Namun pada kelanjutannya, hal ihwal Kerajaan Sriwijaya tidaklah terlalu ditonjolkan lagi, tenggelam oleh kemegahan Majapahit. Sesuatu yang berusaha ditanamkan, bahwa : Wujud Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) pada masa ini tiada lain adalah manifestasi atau reinkarnasi Majapahit di masa lalu. “Bhinneka Thunggal Ika” adalah slogan kebesaran Majapahit yang kini menjadi motto pada Garuda Pancasila, Lambang Negara Kesatuan tercinta ini.
Tanpa bermaksud mencederai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta, saya sebagai anak bangsa ini merasakan jika ada “kesalahan berpikir” sejak awal yang terlalu dipaksakan untuk menjadi dasar ideology oleh suatu kalangan tertentu dalam elemen pendiri Negara ini. Bahwa “Kesadaran Nasional” sebagai perwujudan kesatuan yang pada awalnya dilatarbelakangi adanya rasa persamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah oleh Belanda, kini dibelokkan sedemikian rupa untuk menunjukkan keunggulan suatu bangsa terhadap bangsa lainnya dalam suatu kesatuan. Maka seketika itu saya teringat ujar Jenderal Purn. M. Yusuf. Alm. (Mantan Menhankam / Pangab) pada tahun 2005 yang lalu, bahwa : “Pokok permasalahan bangsa yang besar ini cuma 1 (satu), bahwa adanya suatu suku bangsa yang terlalu ambisi untuk menguasai seluruh suku bangsa lainnya.”.
Jenderal Legendaris yang ksatria dan amat mencintai negaranya itu adalah saksi sejarah yang dapat melihat serta merasakan sendiri bagaimana pergolakan demi pergolakan terjadi pada 3 Orde, era perjalanan bangsa ini sampai sekarang. Sejak Sekarmaridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Teuku Daud Beureueh di Nangroe Aceh Darussalam hingga Letkol. Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Semuanya meneriakkan protes atas pembelokan dasar ideology yang terlalu dipaksakan tersebut, sebelum terpaksa mengangkat senjata sebagai strategi atau langkah terakhir yang dapat ditempuhnya. Istilah “Majapahitisme” adalah tudingan Letkol. Abdul Kahar Muzakkar pada Presiden Soekarno, tidak lama sebelum beliau kembali ke Sulawesi Selatan untuk memproklamirkan gerakan DI/TII yang dinilai oleh banyak pengamat sejarah, tiada lain hanya merupakan “Alasan Berkelahi” semata. Beliau telah prustasi dan amat gerah oleh ketidakadilan yang nampak jelas didepan matanya. Namun jua akhirnya, para Patriot Bangsa itu tergilas habis oleh revolusi serta dinyatakan sebagai pemberontak bangsa.
Sudahlah. Waktu telah berlalu, Sejarah telah terlanjur membentuk dirinya sedemikian rupa…, demikian kata IninnawaE saat ini. Tapi lihatlah, nama Sultan Hasanuddin “Si Ayam Jantan dari Benua Timur” yang merupakan symbol kegigihan perjuangan melawan penjajahan Belanda di Sulawesi Selatan, kini hanyalah nama sebuah Airport belaka. “Wirabuana” yang lagi-lagi berbau Majapahit itu kini diabadikan sebagai “Kodam Wirabuana” Sulawesi Selatan yang berlambangkan pohon Lontar dan Kelewang “Sudanga”, Arajang Kerajaan Gowa di masa lalu. Sungguh, gara-gara inilah hingga sampai saat ini saya tidak tahu dan tidak tertarik untuk mengetahui kepanjangan daripada “KODAM”.. Cetusan rasa gundah.
Akhirnya azas kesatuan yang dicetuskan pada “Sumpah Pemuda”, kini isinya tiada lain berupa “Sumpah Palapa”. “Mengaku berbahasa satu, BAHASA INDONESIA” hanya slogan belaka. Lihatlah, satelit pertama bangsa ini dinamai : Satelit Palapa. Lambang Kementerian Pendidikan Nasional bertuliskan “Tut Wuri Handayani”, Motto Korps Marinir TNI AL juga demikian, tak kalah panjangny. Bahkan hampir semua lambang dan motto seluruh Departemen (Kementerian) di Negera ini, semuanya berkarakter Majapahit belaka. Lalu, kenapa motto itu TIDAK berbahasa Indonesia saja ?.
Penelusuran Tak Berujung…
Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini tidak boleh didasarkan pada azas “Penaklukan Majapahit” yang diklaimnya berdasarkan kitab kunonya secara sepihak !, demikian geliat penasaran hatiku yang senantiasa gusar oleh hal ini pada setiap waktu.
“Pengetahuan Sejarah adalah kumpulan fakta yang saling berhubungan satu sama lain mengenai suatu peristiwa tertentu..” (Prof. S.I. Poeradisastra, 1978). Kemudian menurut Arnold J. Toynbee bahwa azas sebuah peristiwa “Sejarah” menyangkut 2 (dua) bangsa, dipahami sebagai suatu krologis peristiwa yang terbukti secara factual melalui penelusuran manuskrip atau prasasti pada kedua bangsa tersebut. Contoh factual yang memenuhi syarat untuk dinyatakan sebagai sebuah “peristiwa sejarah”, adalah penaklukan Yunani atas Negeri Babilonia yang dipimpin oleh Alexander The Great dari Macedonia. Selain didapatkan manuskrip yang memberitakan peristiwa tersebut di Yunani, juga ditemukan Koin mata uang Babilonia bergambar Alexander The Great didalamnya. Contoh lain adalah penaklukan VoC Belanda pada Kerajaan-Kerajaan local di Jazirah Sulawesi sangat jelas tertulis pada naskah-naskah lama dan syair-syair setempat, misalnya : Sinrilliq Kappala Tallumbatua. Suatu pengakuan tentang rangkaian aksi kesejarahan orang-orang Belanda di Sulawesi Selatan.
Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, "penaklukan" atas beberapa Negeri di Sulawesi Selatan sangat jelas tertulis pada kitab Kakawin Nagarakertagama, sebuah kitab kuno yang kini diakui sebagai "Memori Dunia" oleh UNESCO. Kakawin Nagarakertagama digubah oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 - 1389). Perihal Kerajaan di Sulawesi pada "pupuh 14" sebagaimana diuraikan dalam terjemahan, sbb :
Pupuh XIV
1.
Kadandangan, Landa Samadang dan Tirem tak terlupakan Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei, Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
2.
Di Hujung Medini Pahang yang disebut paling dahulu, Berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu, Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah, Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
3.
Di sebelah timur Jawa seperti yang berikut: Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah, Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo, Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.
4.
Pulau Gurun, yang juga biasa disebut Lombok Merah, Dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya, Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk, Sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk.
5.
Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar, Lagi pula Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor, dan beberapa lagi pulau-pulau lain.
....(Prof. Dr. Slamet Mulyana, Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, tanpa tahun).
Kemudian sumber tersebut diatas diperbandingkan dengan sumber-sumber yang ada di Sulawesi Selatan. Maka penelusuran dimulai pada sumber tentang Kerajaan Luwu yang dianggap sebagai Kerajaan Tertua di Sulawesi, terutama dihubungkan dengan penaklukan Majapahit pada kerajaan tersebut sebagaimana tertulis pada Kakawin Nagarakertagama. Kemudian dibuka pulalah naskah Lontara I La Galigo dari berbagai sumber, maka penulis tidak dapat menemukan satu uraianpun yang menyatakan penaklukan Majapahit terhadap negeri Luwu.
Bahkan lebih dari itu, Angkatan Laut Mancapai' (Majapahit) yang dikisahkan bertekuk lutut dibawah gempuran Sawerigading beserta pasukannya di tengah laut dalam perjalanan menuju Cina (Watampugi'). Sumber tersebut dapat dibaca pada tulisan Andi Bau Sulolipu Opu To Tadampali (Mengenal Sawerigading - tanpa tahun), R.A.Kern (Catalogus Van de Boeginese, tot de I La Galigo Cyclus behorende handschriften, Makassar, Matthesstichting-1954) serta semua naskah lontara I La Galigo dimanapun berada.
Sumber lain yang menyebutkan tentang Majapahit, adalah : Lontara milik Opu Tomarilaleng Luwu (NB No. 208) dimana pada pembukaannya tertulis sebagai berikut : " Simpurusiang tompoo'E ri busa uaE powawinEi Manurung Patyanjala, poana'i Ana'kaji. Iana lao mabbainE ri Majapai' ana'na Ratu Majapai' riyasengnE We Tappacin. Iana poana'i Toampanangi ..." (Simpursiang yang timbul dari busa air memperisterikan Sang Manurung Patyanjala, yang melahirkan Anakaji. Ialah yang berangkat untuk beristeri di Majapahit yakni puteri Ratu Majapahit yang bernama We Tappacin. Ialah yang melahirkan Toampanangi ...).
Kemudian Lontara' Sukkuna Wajo karya La Sangaji Puanna La Sengngeng Arung Bettempola juga menyebutkan perihal pernikahan Anakaji (Pajung Luwu ke-IV) dengan Puteri Raja Majapahit yang bernama We Tappacina. Menyambut kepulangan Anakaji dari Jawa dengan memboyong isterinya tersebut, sehingga Pajung Luwu menghadiahkan "Tana SitonraE" yang terdiri atas TEmpE, Siengkang, Tampangeng dan WagE (kini masuk dalam wilayah Kab. Wajo). Siengkang (sama datang) adalah cikal bakal Kota Sengkang yang kini menjadi Ibukota Kabupaten Wajo. Siengkang yang berarti "sama datang", kawasan itu dinamai demikian karena mengingat orang-orang Majapahit dan orang-orang Luwu "datang bersamaan dalam suatu rombongan" untuk menghuni dan menetap di Negeri yang dihadiahkan tersebut.
Pada kedua macam sumber yang berbeda tersebut diatas (Kakawin Nagarakertagama di Jawa dan Lontara-Lontara di Sulawesi Selatan), maka nampaklah perbedaan yang jelas diantara keduanya. Sumber dari Jawa menyatakan jika Majapahit telah menaklukkan Negeri-negeri di Sulawesi Selatan dan sebaliknya pula, Lontara-Lontara Sulawesi Selatan menyatakan jika Majapahit adalah negeri "seberang lautan" yang angkatan lautnya telah dipermalukan serta puteri rajanya diboyong ke Sulawesi Selatan. Sebab adalah hal yang "tidak mungkin" seorang Raja Penakluk rela jika "puterinya diboyong" oleh Raja taklukannya. Peristiwa yang serupa namun tidak persis sama dikisahkan pada "babad" pernikahan Hayam Wuruk dengan Puteri Pasundan (Jawa Barat), dimana protokoler penjemputan iring-iringan pengantin dipersoalkan oleh Patih Gajah Mada sehingga mengakibatkan perang diantara kedua kerajaan.
Ketidaksesuaian lain yang membedakan antara kedua sumber, adalah pencantuman "Bantayang" pada "pupuh 14" Nagarakertagama. Sebagaimana sumber-sumber yang ada di Sulawesi Selatan, utamanya pada sumber dari Luwu dan Gowa disebutkan bahwa Bantayang yang kini dikenal sebagai "Kabupaten BantaEng" penamaannya berasal dari nama salah seorang saudara lelaki Anakaji (Menantu Hayam Wuruk, Prof. Mr.Dr. H. Andi Zainal Abidin Farid, SH - Munculnya Kedatuan Luwu, 1994) yang bernama : Patala Bantang. Adalah hal yang sangat tidak masuk akal jika sebuah perkampungan pinggir pantai yang dijadikan pendaratan pertama Patala Bantang langsung menjelma menjadi sebuah "Kerajaan bernama Bantayang" seketika itu. Padahal perlu dikemukakan disini, bahwa "Patala Bantang" adalah saudara Anakaji yang segenerasi (lebih muda) dengan Prabu Hayam Wuruk. Dengan demikian, Kerajaan Bantayang didirikan minimal 50 -100 tahun setelah Hayam Wuruk wafat. Sebuah kasus perbedaan "ruang waktu". Lalu Bagaimana mungkin Kerajaan Majapahit menaklukkan negeri yang belum ada ?.
Demikian pula dengan nama-nama negeri lainnya yang tercantum pada Kitab Kakawin yang "konon" ditulis pada abad XIV. Perlu diadakan sebuah penelitian yang mendalam, bahwa apakah Negeri Makasar, Salayar, Timor, Buton, Banggawi (Banggai), Sumba, Solor, Ambon dan Maluku sudah bernama seperti demikian pada kurun waktu tersebut ?. Khususnya "Makassar" menurut beberapa Sejarawan Sulawesi Selatan, bahwa : Penamaan "Makassar" mulai pada Abad XVII, ketika Khatib Tunggal (Penyiar Islam dari Minangkabau) berujar : "Makkassara'mi kanabianna Muhamma' SAW" (sudah menjelmalah kenabian Muhammada SAW).
Kesimpulan dan Penutup
Kembali kepada azas sebuah peristiwa sejarah sebagaimana diuraikan diatas, maka jelaslah bahwa apapun yang tertulis pada kitab Kakawin Nagarakertagama tentang penaklukan Majapahit di Sulawesi Selatan TIDAK DAPAT dikatakan sebagai sebuah kebenaran sejarah. Demikian pula dengan kemenangan Sawerigading terhadap pasukan Angkatan Laut Majapahit, juga TIDAK dapat pula dikatakan sebagai sebuah peristiwa sejarah. Kedua sumber tersebut "walau bagaimanapun kunonya" namun bukan merupakan sebuah jaminan tentang suatu kebenaran sejarah jika ditilik secara metodik.
Adalah jauh lebih bijak jika "Semangat Persatuan dan Kesatuan Bangsa" dibawah lambaian Sang Saka Merah Putih dikembalikan sebagaimana awalnya, yakni : persamaan nasib dan persamaan lainnya dalam kehidupan berbudaya yang dicetuskan dalam "Sumpah Pemuda", 28 Oktober 1928. Bukan disebabkan oleh "klaim" tentang kemaharajaan salahsatu diantara yang lainnya, dimana hal tersebut "belum tentu" kebenarannya. Andaikanpun itu benar, namun tetaplah bukan sebagai sesuatu "yang arif" untuk dijadikan 'DASAR KESATUAN".
Akhirnya penulis menghaturkan ucapan : Jayalah Negeriku, Bersatulah Bangsaku .. Negerimu, Negeriku, Negeri kita bersama .. Tanah Air kita, Indonesia tercinta ...
Wallahualam Bissawab...